Telah panjang-lebar kita berbicara,
tetapi sungguh penyiapan diri kita
untuk menempuh jalan yang membentang di depan
tidaklah cukup: tiada sedikit pun mencukupi
tanpa kehendak Allah!
Tanpa kehendak Allah dan mereka yang dipilih-Nya,
siapa pun diri kita,
lembaran kita tetaplah hitam.
Yaa Allah,
kelimpahan-Mu memenuhi setiap kebutuhan,
tidaklah diizinkan untuk menyebutkan
sesuatu pun di sisi-Mu.
Alangkah berlimpahnya, Alangkah berlimpahnya
petunjuk yang telah Kau anugerahkan;
selama ini telah Engkau tutupi
begitu banyak aib dan cacat-cela kami.
Karena setitik pengetahuan
yang telah Engkau berikan sebelum kami disini—
sampai kini rindu kami bersatu dengan lautan-Mu.
Setitik pengetahuan yang berada di dalam jiwa kami ini:
bebaskan dia dari syahwat dan kungkungan tanah-liat ini.
Sebelum tanah-liat ini menghirupnya-habis,
sebelum angin ini menyapunya.
Sungguhpun, ketika dia tertiup jauh,
Engkau dapat meraihnya kembali, dan memulihkannya.
Setitik air yang telah menguap di udara
atau tertumpah ke tanah—kapankah dia keluar
dari perbendaharaan-Mu,
wahai yang Maha-Menguasai.
Jika dia telah beranjak memasuki ketiadaan—
atau seratus ketiadaan—segera dia bergegas kembali
jika Engkau memanggilnya.
Ratusan ribu pihak telah saling membunuh satu sama lain:
Seruanmu membangkitkan kembali mereka dari ketiadaan.
Yaa Rabb,
karavan demi karavan melesat terus-menerus
dari ketiadaan menuju keberadaan.
Setiap malam,
semua pemikiran dan pemahaman menjadi kosong,
mencebur ke Laut yang dalam;
Lalu, ketika fajar merekah,
mereka yang Ilahiah itu menyembulkan kepala dari Laut,
bagaikan ikan.
Ketika musim gugur tiba,
tak-terhitung cabang-ranting dan dedaunan membusuk
ke dalam lautan Kematian.
Sementara di taman,
burung gagak bergaun hitam-pekat,
bagaikan pelayat yang meratapi gugurnya tanam-tanaman.
Lalu, dari Sang Penguasa datang perintah kepada ketiadaan:
“Kembalikan apa yang telah engkau telan!
Wahai Kematian yang hitam,
kembalikanlah tanaman, bunga-bunga, dedaunan
dan rerumputan yang telah engkau telan!”
Wahai saudaraku,
kumpulkanlah kecerdasanmu dan pertimbangkanlah:
dari saat ke saat, terus-menerus beredar musim gugur
dan musim semi di dalam dirimu.
Pandanglah taman qalb:
hijau dan berembun dan segar,
penuh kuntum mawar, cemara dan melati;
Ranting-dahan tersembunyi lebatnya dedaunan,
padang yang luas dan istana yang tinggi,
tersembunyi oleh lebatnya bunga-bunga.
Kata-kata ini bersumber dari Akal Sejati,
bagaikan wanginya bunga-bunga, cemara dan bakung itu.
Apakah engkau bisa mencium wanginya mawar,
sementara kuntumnya tiada?
Apakah bisa engkau memandang busanya anggur,
sementara anggurnya tiada?
Wewangian itu adalah panduan
yang membimbingmu berjalan:
itu akan membawamu ke Jannah dan Kautsar.
Wewangian adalah obat untuk mata yang buta;
dia adalah pemantik cahaya:
mata Jakub terbuka oleh suatu wewangian.
Bau-busuk menggelapkan mata;
wanginya Jusuf menyembuhkannya.
Engkau bukanlah seorang Jusuf;
karenanya, jadilah seperti Jakub:
bersikaplah bagaikan beliau,
akrabilah linangan air-mata dan kesedihan mendalam.
Dengarlah nasehat dari Hakim Sana’i ini,
agar terasa kesegaran di raga rentamu:
“Kehinaan memerlukan sebuah wajah bagaikan mawar;
jika tidak engkau miliki wajah seperti itu,
janganlah engkau beredar kesana-kemari sambil marah.
Akhlak rendah adalah kehinaan dalam wajah yang buruk,
kepiluan adalah sakit-mata di mata yang buta.”
Pada kehadiran Jusuf jangan biarkan dirimu menyombong
dan berlagak seakan dirimu cantik:
tiada lain yang perlu engkau tawarkan kecuali permohonan
dan rintihan seorang Jakub.
Makna dari kematian,
sebagaimana disampaikan oleh sang burung beo,
adalah memohon dengan merendahkan diri:
matikanlah dirimu-sendiri dalam permohonan ampun
dan kefakiran jiwamu,
Sehingga hembusan Isa dapat menghidupkanmu-kembali,
dan membuatmu cantik dan dirahmati,
sebagaimana sejatinya dirimu.
Bagaimanakah sebongkah batu
dapat tertutupi oleh limpahan kehijauan musim Semi?
Jadilah tanah, sehingga dapat engkau mekarkan
beragam bunga aneka warna.
Telah bertahun-tahun engkau bagaikan batu yang tajam—
cobalah sesuatu yang segar:
serahkanlah dirimu, jadilah seperti tanah!
Sumber:
Rumi: Matsnavi, I: 1877 – 1912.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
tetapi sungguh penyiapan diri kita
untuk menempuh jalan yang membentang di depan
tidaklah cukup: tiada sedikit pun mencukupi
tanpa kehendak Allah!
Tanpa kehendak Allah dan mereka yang dipilih-Nya,
siapa pun diri kita,
lembaran kita tetaplah hitam.
Yaa Allah,
kelimpahan-Mu memenuhi setiap kebutuhan,
tidaklah diizinkan untuk menyebutkan
sesuatu pun di sisi-Mu.
Alangkah berlimpahnya, Alangkah berlimpahnya
petunjuk yang telah Kau anugerahkan;
selama ini telah Engkau tutupi
begitu banyak aib dan cacat-cela kami.
Karena setitik pengetahuan
yang telah Engkau berikan sebelum kami disini—
sampai kini rindu kami bersatu dengan lautan-Mu.
Setitik pengetahuan yang berada di dalam jiwa kami ini:
bebaskan dia dari syahwat dan kungkungan tanah-liat ini.
Sebelum tanah-liat ini menghirupnya-habis,
sebelum angin ini menyapunya.
Sungguhpun, ketika dia tertiup jauh,
Engkau dapat meraihnya kembali, dan memulihkannya.
Setitik air yang telah menguap di udara
atau tertumpah ke tanah—kapankah dia keluar
dari perbendaharaan-Mu,
wahai yang Maha-Menguasai.
Jika dia telah beranjak memasuki ketiadaan—
atau seratus ketiadaan—segera dia bergegas kembali
jika Engkau memanggilnya.
Ratusan ribu pihak telah saling membunuh satu sama lain:
Seruanmu membangkitkan kembali mereka dari ketiadaan.
Yaa Rabb,
karavan demi karavan melesat terus-menerus
dari ketiadaan menuju keberadaan.
Setiap malam,
semua pemikiran dan pemahaman menjadi kosong,
mencebur ke Laut yang dalam;
Lalu, ketika fajar merekah,
mereka yang Ilahiah itu menyembulkan kepala dari Laut,
bagaikan ikan.
Ketika musim gugur tiba,
tak-terhitung cabang-ranting dan dedaunan membusuk
ke dalam lautan Kematian.
Sementara di taman,
burung gagak bergaun hitam-pekat,
bagaikan pelayat yang meratapi gugurnya tanam-tanaman.
Lalu, dari Sang Penguasa datang perintah kepada ketiadaan:
“Kembalikan apa yang telah engkau telan!
Wahai Kematian yang hitam,
kembalikanlah tanaman, bunga-bunga, dedaunan
dan rerumputan yang telah engkau telan!”
Wahai saudaraku,
kumpulkanlah kecerdasanmu dan pertimbangkanlah:
dari saat ke saat, terus-menerus beredar musim gugur
dan musim semi di dalam dirimu.
Pandanglah taman qalb:
hijau dan berembun dan segar,
penuh kuntum mawar, cemara dan melati;
Ranting-dahan tersembunyi lebatnya dedaunan,
padang yang luas dan istana yang tinggi,
tersembunyi oleh lebatnya bunga-bunga.
Kata-kata ini bersumber dari Akal Sejati,
bagaikan wanginya bunga-bunga, cemara dan bakung itu.
Apakah engkau bisa mencium wanginya mawar,
sementara kuntumnya tiada?
Apakah bisa engkau memandang busanya anggur,
sementara anggurnya tiada?
Wewangian itu adalah panduan
yang membimbingmu berjalan:
itu akan membawamu ke Jannah dan Kautsar.
Wewangian adalah obat untuk mata yang buta;
dia adalah pemantik cahaya:
mata Jakub terbuka oleh suatu wewangian.
Bau-busuk menggelapkan mata;
wanginya Jusuf menyembuhkannya.
Engkau bukanlah seorang Jusuf;
karenanya, jadilah seperti Jakub:
bersikaplah bagaikan beliau,
akrabilah linangan air-mata dan kesedihan mendalam.
Dengarlah nasehat dari Hakim Sana’i ini,
agar terasa kesegaran di raga rentamu:
“Kehinaan memerlukan sebuah wajah bagaikan mawar;
jika tidak engkau miliki wajah seperti itu,
janganlah engkau beredar kesana-kemari sambil marah.
Akhlak rendah adalah kehinaan dalam wajah yang buruk,
kepiluan adalah sakit-mata di mata yang buta.”
Pada kehadiran Jusuf jangan biarkan dirimu menyombong
dan berlagak seakan dirimu cantik:
tiada lain yang perlu engkau tawarkan kecuali permohonan
dan rintihan seorang Jakub.
Makna dari kematian,
sebagaimana disampaikan oleh sang burung beo,
adalah memohon dengan merendahkan diri:
matikanlah dirimu-sendiri dalam permohonan ampun
dan kefakiran jiwamu,
Sehingga hembusan Isa dapat menghidupkanmu-kembali,
dan membuatmu cantik dan dirahmati,
sebagaimana sejatinya dirimu.
Bagaimanakah sebongkah batu
dapat tertutupi oleh limpahan kehijauan musim Semi?
Jadilah tanah, sehingga dapat engkau mekarkan
beragam bunga aneka warna.
Telah bertahun-tahun engkau bagaikan batu yang tajam—
cobalah sesuatu yang segar:
serahkanlah dirimu, jadilah seperti tanah!
Sumber:
Rumi: Matsnavi, I: 1877 – 1912.
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.